Penyebaran Islam di Nusantara
adalah proses
menyebarnya agama Islam di Nusantara
(sekarang Indonesia). Islam dibawa ke Nusantara oleh
pedagang dari Gujarat, India
selama abad ke-11, meskipun Muslim
telah mendatangi Nusantara sebelumnya.[butuh rujukan]
Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui jumlah penganut Hindu
dan Buddhisme
sebagai agama dominan bangsa Jawa
dan Sumatra. Bali
mempertahankan mayoritas Hindu, sedangkan pulau-pulau timur sebagian besar
tetap menganut animisme sampai abad 17 dan 18 ketika agama Kristen
menjadi dominan di daerah tersebut.
Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh
meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara.
Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang
pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa
Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di
Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad
ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera
Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina
selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa
Timur, abad ke-15 di Malaka
dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia).
Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara,
kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan gelombang konversi
bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses konversi
ini rumit dan lambat.
Meskipun menjadi salah satu perkembangan yang paling
signifikan dalam sejarah Indonesia, bukti sejarah babak ini terkeping-keping
dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke
Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa
kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara kala itu.[1]:3
Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu
nisan dan beberapa kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya
dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu
tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih rumit seperti
bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau seberapa dalam Islam
mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan,
bahwa karena penguasa saat itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka proses
Islamisasi daerah itu telah lengkap dan mayoritas penduduknya telah memeluk
Islam; namun proses konversi ini adalah suatu proses yang berkesinambungan dan
terus berlangsung di Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai hari ini di Indonesia
modern. Namun demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika Kerajaan Hindu Majapahit di
Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak.
Pada 1527, pemimpin perang Muslim Fatahillah
mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya sebagai
"Jayakarta" (berarti "kota kemenangan") yang akhirnya
seiring waktu menjadi "Jakarta".
Asimilasi budaya Nusantara menjadi Islam
kemudian meningkat dengan cepat setelah penaklukan ini.
Daftar isi
Awal sejarah
Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping
dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke
Indonesia terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan
yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara.[1]:3
Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu
nisan dan kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat
menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu
tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia
Belanda maupun Republik Indonesia lebih memilih situs
peninggalan Hindu dan Buddha di Pulau
Jawa dalam alokasi sumber daya mereka untuk penggalian dan
pelestarian purbakala, kurang memberi perhatian pada penelitian tentang awal
sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik negeri maupun swasta,
dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada mengeksplorasi yang
lama.[2]
Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat
Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama beberapa abad. Sejarawan Merle
Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang tindih dimana
Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan
Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab,
dll) menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal. Islam
diperkirakan telah hadir di Asia
Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman'
(644-656) utusan dan pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut
Nusantara, melalui Nusantara dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan
Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad ke-12 diperkirakan telah terlibat
dalam negara perdagangan maritim Sriwijaya di
Sumatra.
Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan Abbasiyah,
menurut kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelaut Muslim
terutama karena kelimpahan komoditas perdagangan rempah-rempah
berharga seperti Pala, Cengkeh, Lengkuas
dan banyak lainnya.[3]
Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak
menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau
pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara.[1]:3
Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara
berasal dari tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan
paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H (1082 M),
meskipun milik seorang Muslim asing, ada keraguan apakah nisan tersebut tidak
diangkut ke Jawa pada masa setelah tahun tersebut. Bukti pertama Muslim pribumi
Nusantara berasal dari Sumatera
Utara, Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China
pada tahun 1292,
melaporkan setidaknya satu kota Muslim,[4]
dan bukti pertama tentang dinasti Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297
M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim pertama
Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan
selanjutnya menunjukkan diteruskannya pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah
pemikiran Syafi'i, yang kemudian mendominasi Nusantara
dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah dari Maroko,
tahun 1346.
Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera
Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban agamanya
sekuat tenaga. Madh'hab yang digunakannya adalah Imam
Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India.[4]
Menurut wilayah
Pada awalnya sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di
masyarakat Nusantara dengan cara yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad
ke-14 sampai akhir abad ke-19 Nusantara melihat hampir tidak ada aktivitas
misionaris Muslim terorganisir.[5]
Namun klaim ini kemudian dibantah oleh temuan sejarawan bahwa beberapa bagian
dari Jawa, seperti Suku Sunda di Jawa
Barat dan kerajaan Majapahit di
Jawa
Timur ditaklukkan oleh Muslim Jawa
dari Kesultanan Demak. Kerajaan Hindu-Buddha Sunda
Pajajaran
ditaklukkan oleh kaum Muslim pada abad
ke-16, sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur
yang Hindu-Buddha sering berperang.[1]:8
Pendiri Kesultanan Aceh Ali
Mughayat Syah memulai kampanye militer pada tahun 1520 untuk mendominasi
bagian utara Sumatera dan mengkonversi penduduknya menjadi Islam. Penyebaran
terorganisir Islam juga terbukti dengan adanya Wali
Sanga (sembilan orang suci) yang diakui mempunyai andil besar
dalam Islamisasi Nusantara secara sistematis selama periode ini. [1]:8[6]
Malaka
Didirikan sekitar awal abad ke-15 , negara perdagangan
Melayu Kesultanan Malaka (sekarang bagian Malaysia)
didirikan oleh Sultan Parameswara, adalah, sebagai pusat
perdagangan paling penting di kepulauan Asia
Tenggara, pusat kedatangan Muslim asing, dan dengan demikian muncul
sebagai pendukung penyebaran Islam di Nusantara. Parameswara sendiiri diketahui
telah dikonversi ke Islam, dan mengambil nama Iskandar
Shah setelah kedatangan
Laksamana Cheng Ho yang merupakan Suku
Hui muslim dari negeri China. Di Malaka dan di tempat lain
batu-batu nisan bertahan dan menunjukkan tidak hanya penyebaran Islam di
kepulauan Melayu, tetapi juga sebagai agama dari sejumlah budaya dan penguasa
mereka pada akhir abad ke-15.
Sumatera Utara
Bukti yang lebih kuat mendokumentasikan transisi budaya yang
berlanjut berasal dari dua batu nisan akhir abad ke-14 dari Minye
Tujoh di Sumatera
Utara, masing-masing dengan tulisan Islam tetapi dengan jenis
karakter India dan lainnya Arab. Berasal dari abad ke-14, batu nisan di Brunei, Trengganu
(timur laut Malaysia) dan Jawa
Timur adalah bukti penyebaran Islam. Batu Trengganu memiliki
dominasi bahasa Sansekerta atas kata-kata Arab,
menunjukkan representasi pengenalan hukum Islam. Menurut Ying-yai Sheng-lan:
survei umum pantai samudra (1433) yang ditulis oleh Ma
Huan, pencatat sejarah dan penerjemah Cheng
Ho: "negara-negara utama di bagian utara Sumatra
sudah merupakan Kesultanan Islam.
Pada tahun 1414,
ia (Cheng Ho) mengunjungi Kesultanan
Malaka, penguasanya Iskandar
Shah adalah Muslim dan juga warganya, dan mereka
percaya dengan sangat taat".
Di Kampong Pande, Banda
Aceh terdapat batu nisan Sultan Firman Syah,
cucu dari Sultan Johan Syah,
yang memiliki sebuah prasasti yang menyatakan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kesultanan Aceh Darussalam
dan bahwa kota itu didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan (22
April 1205)
oleh Sultan Johan Syah setelah ia menaklukkan Kerajaan Hindu-Buddha Indra Purba
yang beribukota di Bandar Lamuri.
Pembentukan kerajaan-kerajaan Islam lebih lanjut di bagian
Utara pulau Sumatera didokumentasikan oleh kuburan-kuburan akhir abad ke-15 dan
ke-16 termasuk sultan pertama dan kedua Kesultanan Pedir
(sekarang Pidie), Muzaffar Syah,
dimakamkan 902 H (1497 M) dan Ma'ruf Syah,
dimakamkan 917 H (1511 M). Kesultanan
Aceh didirikan pada awal abad ke-16 dan kemudian akan menjadi
negara yang paling kuat di utara Pulau Sumatra dan salah satu yang paling kuat
di seluruh kepulauan Melayu. Sultan pertama Kesultanan Aceh adalah Ali
Mughayat Syah yang nisannya bertanggal tahun 936 H (1530 M).
Pada 1520, Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer untuk
mendominasi bagian utara Sumatera. Dia menaklukkan Daya, dan mengkonversi
orang-orangnya ke Islam. [7]
Penaklukannya berlanjut ke bawah pantai timur, seperti Pidie
dan Pasai
menggabungkan beberapa daerah penghasil emas
dan lada.
Penambahan daerah-daerah tersebut akhirnya menyebabkan ketegangan internal
dalam Kesultanan Aceh, karena kekuatan Aceh adalah sebagai bandar perdagangan,
yang kepentingan ekonominya berbeda dari wilayah-wilayah bandar produksi.
Buku ahli pengobatan Portugis Tome
Pires yang mendokumentasikan pengamatannya atas Jawa dan Sumatera
dari kunjungannya tahun 1512-1515, dianggap salah satu sumber yang paling
penting tentang penyebaran Islam di Nusantara. Pada saat tersebut, menurut
Piers, kebanyakan raja di Sumatera adalah Muslim, dari Aceh dan ke selatan
sepanjang pantai timur ke Palembang,
para penguasanya adalah Muslim, sementara sisi selatan Palembang dan di sekitar
ujung selatan Sumatera dan ke pantai barat, sebagian besar bukan. Di kerajaan
lain Sumatera, seperti Pasai dan Minangkabau
penguasanya adalah Muslim meskipun pada tahap itu warga mereka dan orang-orang
di daerah tetangga bukan. Bagaimanapun, dilaporkan oleh Pires bahwa agama Islam
terus memperoleh penganut baru.
Setelah kedatangan rombongan kolonial Portugis
dan ketegangan yang mengikuti tentang kekuasaan atas perdagangan rempah-rempah,
Sultan Aceh Alauddin
al-Kahar (1539-1571) mengirimkan dutanya ke Sultan Kesultanan Utsmaniyah, Suleiman
I tahun 1564, meminta dukungan Utsmaniyah melawan Kekaisaran Portugis. Dinasti Utsmani kemudian
dikirim laksamana mereka, Kurtoğlu Hızır Reis. Dia kemudian berlayar
dengan kekuatan 22 kapal
membawa tentara, peralatan militer dan perlengkapan lainnya. Menurut laporan
yang ditulis oleh Laksamana Portugis Fernão Mendes Pinto,
armada Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh
terdiri dari beberapa orang Turki dan kebanyakan Muslim
dari pelabuhan Samudera Hindia.[8]
Jawa Tengah dan Jawa Timur
Prasasti-prasasti dalam aksara Jawa
Kuno, bukan bahasa Arab, ditemukan pada banyak serangkaian batu
nisan bertanggal sampai 1369 M di Jawa
Timur, menunjukkan bahwa mereka hampir pasti adalah Jawa
pribumi, bukan Muslim asing. Karena dekorasi rumit dan kedekatan dengan lokasi
bekas ibukota kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, Louis-Charles Damais (peneliti dan sejarawan)
menyimpulkan bahwa makam ini adalah makam orang-orang Jawa pribumi yang sangat
terhormat, bahkan mungkin keluarga kerajaan.[9]
Hal ini menunjukkan bahwa beberapa elit Kerajaan Majapahit di Jawa telah
memeluk Islam pada saat Majapahit yang merupakan Kerajaan Hindu-Buddha berada
di puncak kejayaannya.
Ricklefs (1991) berpendapat bahwa batu-batu nisan Jawa timur
ini, berlokasi dan bertanggal di wilayah non-pesisir Majapahit, meragukan
pandangan lama bahwa Islam di Jawa berasal dari pantai dan mewakili oposisi
politik dan agama untuk kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah kerajaan dengan
kontak politik dan perdagangan yang luas, Majapahit hampir pasti telah
melakukan kontak dengan para pedagang Muslim, namun kemungkinan adanya abdi
dalem keraton yang berpengalaman untuk tertarik pada agama kasta pedagang masih
sebatas dugaan. Sebaliknya, guru Sufi-Islam yang dipengaruhi mistisisme dan
mungkin mengklaim mempunyai kekuatan gaib, lebih mungkin untuk diduga sebagai
agen konversi agama para elit istana Jawa yang sudah lama akrab dengan aspek
mistisisme Hindu dan Buddha.[1]:5
Pada awal abad ke-16, Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah di
mana suku
Jawa hidup, masih dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal
di pedalaman Jawa Timur di Daha
(sekarang Kediri).
Namun daerah pesisir seperti Surabaya,
telah ter-Islamisasi dan sering berperang dengan daerah pedalaman, kecuali Tuban,
yang tetap setia kepada raja Hindu-Buddha. Beberapa wilayah di pesisir tersebut
adalah wilayah penguasa Jawa yang telah berkonversi ke Islam, atau wilayah Tionghoa
Muslim, India, Arab
dan Melayu yang menetap dan mendirikan negara
perdagangan mereka di pantai. Menurut Pires, para pemukim asing dan keturunan
mereka tersebut begitu mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga mereka
meniru gaya tersebut dan dengan demikian mereka menjadi "Jawa".
Perang antara Muslim-pantai dan Hindu-Buddha-pedalaman ini juga terus berlanjut
lama setelah jatuhnya Majapahit oleh Kesultanan
Demak, bahkan permusuhan ini juga terus berlanjut lama setelah
kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.[1]:8
Kapan orang-orang di pantai utara Jawa memeluk Islam
tidaklah jelas. Muslim Tionghoa, Ma
Huan, utusan Kaisar
Yongle,[4]
mengunjungi pantai Jawa pada 1416
dan melaporkan dalam bukunya, Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra
(1433), bahwa hanya ada tiga jenis orang di Jawa: Muslim dari wilayah barat
Nusantara, Tionghoa (beberapa adalah Muslim) dan Jawa yang bukan Muslim.[10]
Karena batu-batu nisan Jawa Timur adalah dari Muslim Jawa lima puluh tahun
sebelumnya, laporan Ma Huan menunjukkan bahwa Islam mungkin memang telah
diadopsi oleh sebagian abdi dalem istana Jawa sebelum orang Jawa pesisir.
Sebuah nisan Muslim bertanggal 822 H (1419 M) ditemukan di Gresik,
pelabuhan di Jawa Timur dan menandai makam Maulana Malik Ibrahim. Namun
bagaimanapun, dia adalah orang asing non-Jawa, dan batu nisannya tidak
memberikan bukti konversi pesisir Jawa. Namun Malik Ibrahim, menurut tradisi
Jawa adalah salah satu dari sembilan penyebar Islam di Jawa (disebut Wali
Sanga) meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang
tradisi ini. Pada abad ke-15-an, Kerajaan Majapahit yang kuat di Jawa mengalami
kemunduran. Setelah dikalahkan dalam beberapa pertempuran, kerajaan Hindu
terakhir di Jawa jatuh di bawah meningkatnya kekuatan Kesultanan
Demak pada tahun 1520.
Jawa Barat
Suma Oriental ("Dunia Timur")
yang ditulis Tome Pires melaporkan juga bahwa Suku
Sunda di Jawa Barat bukanlah Muslim di zamannya, dan
memang memusuhi Islam.[1]
Sebuah penaklukan oleh Muslim di daerah ini terjadi pada abad ke-16. Dalam
studinya tentang Kesultanan
Banten, Martin van Bruinessen
berfokus pada hubungan antara mistik dan keluarga kerajaan, menjadi pembeda
bahwa proses Islamisasi dengan yang berlaku di tempat lain di Pulau Jawa:
"Dalam kasus Banten, sumber-sumber pribumi mengasosiasikan "tarekat"
tidak dengan perdagangan dan pedagang, tetapi dengan raja, kekuatan magis dan
legitimasi politik."[11] Ia
menyajikan bukti bahwa Sunan
Gunungjati diinisiasi ke dalam aliran "Kubra",
"Shattari",
dan "Naqsyabandiyah"
dari sufisme.
Daerah lain
Tidak ada bukti dari penerapan Islam oleh orang Nusantara
sebelum abad ke-16 di daerah luar Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Kesultanan Ternate dan Tidore di
Maluku, dan Kesultanan
Brunei dan Semenanjung Melayu.
Legenda Nusantara dan Melayu
Meskipun kerangka waktu bagi masuknya Islam di wilayah
Indonesia dapat ditentukan secara luas, sumber-sumber utama sejarah tidak bisa
menjawab banyak pertanyaan yang spesifik, sehingga kontroversi terus
mengelilingi topik ini. Sumber-sumber seperti tidak menjelaskan mengapa
konversi signifikan orang pribumi Nusantara menjadi Islam tidak dimulai hingga
beberapa abad bahkan setelah para Muslim asing mengunjungi dan tinggal di
Nusantara. Sumber-sumber ini juga tidak cukup menjelaskan asal usul dan
perkembangan "aliran" istimewa Islam di Nusantara, atau bagaimana
Islam menjadi agama yang dominan di Nusantara.[1]:8
Untuk mengisi kekosongan celah sejarah ini, banyak peneliti mencari referensi
ke legenda-legenda Melayu dan Nusantara tentang konversi pribumi Nusantara ke
Islam.
Ricklefs berpendapat bahwa meskipun legenda-legenda ini
bukanlah catatan historis yang dapat diandalkan tentang peristiwa yang
sebenarnya, legenda-legenda ini berharga dalam memberi titik terang mengenai
beberapa peristiwa, melalui wawasan mereka yang tersebar di masyarakat, ke
dalam sifat pembelajaran dan kekuatan magis, latar belakang asing dan hubungan
perdagangan para guru Islam awal, dan proses konversi yang bergerak dari atas
(golongan elit keraton) ke bawah. Legenda ini juga memberikan wawasan tentang
bagaimana generasi muda Nusantara (Indonesia)
melihat proses Islamisasi ini.[1]:8–11
Sumber-sumber ini termasuk:
- Hikayat Raja-raja Pasai - sebuah teks Bahasa Melayu Kuno yang menceritakan bagaimana Islam datang ke negeri "Samudra" (Kesultanan Samudera Pasai, sekarang di Aceh) di mana Kerajaan Islam di Nusantara yang pertama didirikan.
- Sejarah Melayu - teks Bahasa Melayu Kuno, yang seperti juga Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan kisah konversi Samudra, tetapi juga bercerita tentang konversi Raja Malaka (Parameswara).
- Babad Tanah Jawi - nama generik yang digunakan untuk sejumlah besar manuskrip, di mana konversi ke dalam bahasa Jawa yang pertama diatributkan pada Wali Sanga ("sembilan orang suci").
- Sejarah Banten - Sebuah teks Jawa yang berisi cerita konversi.
Dari teks-teks yang disebutkan di sini, teks-teks Melayu
menggambarkan proses konversi ke Islam sebagai ritual pelepasan yang
signifikan, ditandai dengan tanda-tanda formal dan nyata dari ritual konversi,
seperti sunat, pengakuan iman,
dan mengadopsi nama Arab.
Di sisi lain, ketika peristiwa-peristiwa magis masih memainkan peran penting
dalam kesaksian Jawa tentang Islamisasi, peristiwa magis dalam konversi ke
Islam menurut kesaksian teks-teks Melayu tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan
proses konversi Jawa ke Islam lebih merupakan "menyerap" Islam
ketimbang berpindah, [1]:9
hal ini konsisten dengan elemen sinkretisme
agama yang secara signifikan lebih besar dalam Islam kontemporer Jawa
dibandingkan terhadap Islam yang relatif lebih ortodoks di Sumatera
dan Se
menanjung Malaya (sekarang Malaysia).
PETA
JALUR MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
BENTUK PRILAKU MENYIMPANG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar